Senin, 10 November 2025
Konflik Perbatasan: Thailand Pasang Blokade Perbatasan Kamboja
Konflik Perbatasan: Thailand Pasang Blokade Perbatasan Kamboja

Konflik Perbatasan: Thailand Pasang Blokade Perbatasan Kamboja

Konflik Perbatasan: Thailand Pasang Blokade Perbatasan Kamboja

Facebook Twitter WhatsApp Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email Print
Konflik Perbatasan: Thailand Pasang Blokade Perbatasan Kamboja
[PM Thailand /Paetongtarn Shinawatra] Konflik Perbatasan: Thailand Pasang Blokade Perbatasan Kamboja

Konflik Perbatasan Antara Thailand Dan Kamboja Kembali Memanas Setelah Insiden Bentrokan Singkat Pada 28 Mei 2025 Di Kawasan Segitiga Zamrud. Ketegangan ini mendorong pemerintah Thailand untuk mengambil langkah drastis dengan menutup beberapa pos perbatasan secara resmi.Awalnya, dua pos pemeriksaan di provinsi Chanthaburi dan Trat di tutup pada 6 Juni. Selanjutnya, blokade di perluas ke tujuh provinsi perbatasan lainnya pada 24 Juni. Keputusan ini membatasi hampir seluruh lalu lintas orang dan barang antara Thailand dan Kamboja. Hanya lalu lintas untuk kebutuhan kemanusiaan dan keadaan darurat medis yang diizinkan.

Langkah ini merupakan respons terhadap tindakan balasan dari Kamboja. Negara tersebut melarang impor bahan bakar dan membekukan layanan media daring asal Thailand. Penutupan perbatasan berdampak langsung pada ribuan pekerja migran dan pedagang kecil. Sektor pariwisata juga terguncang karena turis harus menunda atau membatalkan perjalanan ke destinasi perbatasan yang populer.

Media internasional mencatat bahwa Konflik Perbatasan ini turut mendorong Thailand untuk memperketat pengawasan. Salah satu tujuan tersembunyi dari kebijakan tersebut adalah menumpas jaringan penipuan online. Jaringan ini berkembang pesat di wilayah perbatasan dan di nilai mengancam stabilitas keamanan regional.

Meski bersifat ketat, pemerintah Thailand tetap memberikan pengecualian bagi pelintas yang memiliki alasan kemanusiaan, seperti pelajar, pengungsi, dan kasus medis mendesak. Namun, penghentian sementara visa turis telah menimbulkan kekhawatiran pada sektor ekonomi yang bergantung pada pariwisata lintas negara. Banyak wisatawan asing kini memilih jalur udara, sementara jalur laut mengalami lonjakan sebagai alternatif distribusi barang. Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, menegaskan bahwa penutupan ini hanya bersifat sementara dan akan di tinjau kembali jika Kamboja menarik pasukan dari wilayah sengketa.

Faktor Pemicu Dan Respons Regional

Faktor Pemicu Dan Respons Regional menjadi latar utama meningkatnya ketegangan antara Thailand dan Kamboja pada pertengahan 2025.Pertikaian ini bermula dari sengketa wilayah kuno di sekitar Candi Preah Vihear dan kawasan Segitiga Zamrud. Perselisihan tersebut telah berlangsung selama puluhan tahun. Konflik serupa pernah terjadi pada 2008 dan 2011, namun saat itu berhasil di redam melalui jalur diplomatik. Sayangnya, upaya perdamaian tersebut gagal bertahan lama. Pada 28 Mei 2025, kontak senjata kembali terjadi. Patroli militer dari kedua negara saling bersinggungan di daerah sengketa. Insiden itu menyebabkan satu tentara Kamboja tewas. Peristiwa ini menjadi titik balik dari eskalasi konflik yang lebih luas. Situasi tersebut mendorong keterlibatan komunitas internasional untuk menengahi ketegangan yang semakin meningkat.

Menanggapi insiden tersebut, pemerintah Thailand menuding Kamboja telah melanggar kesepakatan penarikan pasukan yang di capai pada 2024. Sebagai langkah strategis, Bangkok menutup 14 pos lintas batas secara total. Pos-pos itu tersebar di tujuh provinsi perbatasan: Ubon Ratchathani, Surin, Buriram, Sri Sa Ket, Sa Kaeo, Chanthaburi, dan Trat. Penutupan ini berdampak besar terhadap perdagangan lokal, mobilitas pekerja migran, dan pariwisata lintas negara. Pemerintah daerah di Thailand pun berupaya menjaga distribusi bahan pokok dan logistik tetap berjalan. Namun, semua di lakukan dengan pengawasan ekstra ketat untuk mencegah penyusupan dan menghindari eskalasi baru.

Di sisi lain, Kamboja membalas dengan menghentikan impor bahan bakar dan listrik dari Thailand. Selama ini, Thailand memasok sekitar 30 persen kebutuhan energi Kamboja. Pemerintahan PM Hun Manet juga memulangkan jenazah tentaranya dengan penghormatan kenegaraan. Selain itu, ia menuduh Thailand menggunakan konflik sebagai alat pengalihan isu dalam negeri. Organisasi regional seperti ASEAN dan Perserikatan Bangsa-Bangsa segera menyerukan kedua negara untuk menahan diri. Mereka mendorong dialog damai guna mencegah konflik bersenjata yang lebih luas. Ketegangan ini di nilai berpotensi mengancam stabilitas kawasan Asia Tenggara.

Konflik Perbatasan Dan Implikasi Ekonomi

Konflik Perbatasan Dan Implikasi Ekonomi menjadi sorotan utama di tengah ketegangan yang terus memburuk antara Thailand dan Kamboja. Ketegangan yang sebelumnya bersifat militer kini menjalar ke sektor ekonomi dan sosial. Konflik ini tidak hanya menimbulkan kekhawatiran keamanan regional, tetapi juga mengguncang perekonomian lokal di kedua sisi perbatasan. Ribuan pekerja migran asal Kamboja yang biasanya melintasi pos Ban Laem dan Ban Phak Kad kini tidak dapat masuk ke wilayah Thailand. Akibatnya, beberapa sektor padat karya di provinsi timur Thailand, khususnya manufaktur dan pertanian, mengalami kekurangan tenaga kerja. Sementara itu, para pedagang kecil di pasar tradisional perbatasan kehilangan pemasok utama mereka. Sayuran, buah-buahan segar, dan hasil pertanian lainnya menjadi langka karena distribusi terhenti mendadak.

Penutupan dua pos perbatasan pada 7 Juni 2025 membuat importir dan eksportir harus mencari jalur alternatif. Banyak pengusaha memilih memindahkan arus barang melalui jalur laut menuju Pelabuhan Sihanoukville di Kamboja. Di sisi lain, eksportir Thailand mulai memanfaatkan rute darat yang memutar melalui Laos dan Vietnam. Namun, solusi ini bukan tanpa konsekuensi. Biaya logistik di laporkan melonjak hingga 40 persen akibat jarak tempuh dan prosedur bea cukai yang lebih rumit. Lonjakan biaya tersebut berdampak langsung pada harga barang kebutuhan pokok, yang mulai mengalami inflasi di pasar domestik kedua negara.

Sektor pariwisata, yang sebelumnya mulai pulih pasca-pandemi, kembali mengalami kontraksi. Kamar Dagang Thailand mencatat penurunan kunjungan wisatawan lintas-batas sebesar 65 persen di provinsi-provinsi perbatasan sepanjang Juni 2025. Para pelaku industri perjalanan mendesak pemerintah kedua negara segera membuka kembali jalur aman. Mereka khawatir apabila situasi berlarut-larut, dampaknya tidak hanya mengganggu ekonomi lokal, tetapi juga menurunkan kepercayaan wisatawan asing terhadap keamanan kawasan Indochina secara keseluruhan.

Upaya Diplomasi Dan Prospek Perdamaian

Upaya Diplomasi Dan Prospek Perdamaian menjadi fokus utama dalam meredakan ketegangan antara Thailand dan Kamboja yang terus memanas sejak akhir Mei 2025. ASEAN, melalui peran aktif Sekretariat Jenderalnya, berhasil memfasilitasi pertemuan tingkat tinggi antara menteri luar negeri kedua negara pada akhir Juni. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan awal untuk menunda penempatan pasukan tambahan di wilayah sengketa serta mengaktifkan kembali jalur komunikasi militer langsung. Langkah ini di anggap sebagai sinyal positif menuju pengurangan risiko konflik bersenjata. Meskipun belum ada kesepakatan final, kedua belah pihak menunjukkan komitmen awal untuk mengedepankan penyelesaian damai.

Dukungan komunitas internasional turut menguatkan proses ini. Badan PBB untuk Penanggulangan Pengungsi (UNHCR) menawarkan bantuan kemanusiaan bagi warga sipil yang terdampak dan terpaksa mengungsi dari wilayah perbatasan. Selain itu, UNHCR juga menyerukan agar kedua negara meninjau kembali implementasi putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2013 terkait wilayah Candi Preah Vihear. Revisi tersebut di harapkan dapat di sesuaikan dengan dinamika geopolitik dan sosial terbaru di kawasan. Dalam proses ini, organisasi internasional menekankan pentingnya prinsip kedaulatan dan perlindungan hak-hak sipil di wilayah sengketa.

Tahun 2025 di nilai sebagai momen strategis bagi ASEAN untuk membuktikan kemampuannya dalam menyelesaikan sengketa regional secara kolektif dan damai. Melalui pendekatan diplomatik yang inklusif, forum-forum multilateral di harapkan mampu mempertemukan berbagai kepentingan nasional tanpa mengorbankan stabilitas kawasan. Para pemimpin ASEAN juga mulai menyusun kerangka kerja jangka panjang yang mendukung pembangunan lintas batas dan pemulihan ekonomi yang adil. Di tengah tekanan politik domestik dan tekanan publik, Thailand dan Kamboja di harapkan menempatkan rekonsiliasi sebagai prioritas, demi mengakhiri Konflik Perbatasan.

Share : Facebook Twitter Pinterest LinkedIn Tumblr Telegram Email WhatsApp Print

Artikel Terkait