Kenaikan PPN 12%, Para Pengusaha Minta Penundaan Kenaikan
Kenaikan PPN 12%, Para Pengusaha Minta Penundaan Kenaikan
Kenaikan PPN Sejumlah 12 Persen Yang Akan Di Berlakukan Sesuai Jadwalnya Pada Tahun 2025 Menimbulkan Dampak Signifikan Terhadap Perekonomian. Menurut Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman, yang mengemukakan pentingnya pemerintah mempertimbangkan kembali rencana peningkatan tarif PPN. Yang mana, ia berpendapat bahwa kenaikan PPN perlu di evaluasi secara mendalam. Mengingat pengalaman sebelumnya saat tarif PPN di naikkan dari 10 persen menjadi 11 persen. Yang mana, saat itu penjualan produk makanan dan minuman mengalami penurunan yang cukup tajam dalam tiga bulan pertama penerapan kebijakan tersebut. Adhi mencatat bahwa jika pemerintah tidak memberikan intervensi melalui bantuan langsung tunai (BLT), maka penurunan penjualan bisa jadi lebih parah. Tanggapan lebih lanjut, Adhi mengungkapkan bahwa penetapan tarif PPN sebesar 12 persen perlu di pertimbangkan ulang. Yaitu, dengan memperhatikan dampak jangka panjang terhadap pertumbuhan industri.
Menurutnya, industri makanan dan minuman sebaiknya di berikan kesempatan untuk tumbuh terlebih dahulu sebelum di kenakan pajak yang lebih tinggi. Selanjutnya, ia juga menegaskan bahwa penting untuk tetap menjaga daya beli konsumen agar pertumbuhan industri tetap berkelanjutan. Adhi juga menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang kuat/ Sehingga, pendapatan negara dari pajak termasuk dari Pajak Penghasilan dan PPN dapat meningkat secara alami. Kemudian, ia juga menekankan pentingnya kepatuhan wajib pajak terhadap PPN yang saat ini masih berada di sekitar 60 persen. Yang mana, jika kepatuhan pajak bisa mencapai 100 persen, maka pendapatan negara akan mengalami peningkatan signifikan tanpa perlu menaikkan tarif PPN terlebih dahulu.
Oleh karena itu, dengan upaya pemerintah yang mendorong agar seluruh masyarakat, termasuk berbagai golongan patuh terhadap kewajiban pajak. Maka, tidak ada lagi praktik penghindaran pajak yang merugikan. Ia juga menambahkan bahwa kepatuhan pajak juga harus di terapkan secara adil dan menyeluruh.
Mempertimbangkan Penundaan Kenaikan Tarif PPN
Dengan tidak ada pihak yang merasa di rugikan atau kalah bersaing karena menjalankan kewajibannya, sementara pihak lain tidak melakukannya. Adhi menekankan bahwa membayar pajak adalah kewajiban yang harus di patuhi oleh semua pihak tanpa kecuali. Hal ini tentu demi terciptanya keadilan dan persaingan yang sehat dalam perekonomian. Ketua GAPMMI ini juga berharap pemerintah dapat Mempertimbangkan Penundaan Kenaikan Tarif PPN yang menjadi 12 persen tersebut. Hal ini juga termasuk rencana penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang di rencanakan akan di berlakukan tahun depan. Adhi menyatakan bahwa pihaknya telah berdiskusi dengan berbagai lembaga pemerintah. Seperti Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Bea Cukai, dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Namun, dia menjelaskan bahwa hingga saat ini, diskusi tersebut belum di tindaklanjuti secara resmi melalui undangan untuk membahas isu ini lebih lanjut.
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Roy Nicholas Mandey, juga mengemukakan kekhawatiran serupa. Roy mendesak pemerintah untuk menunda rencana kenaikan tarif PPN tersebut. Yang mana, ia menyebutkan bahwa meskipun ada kabar tentang kemungkinan penundaan kenaikan tarif PPN. Namun, hingga kini belum ada kepastian resmi dari pemerintah. Roy menggarisbawahi pentingnya pernyataan resmi dari pemerintah mengenai penundaan tersebut. Karena hal ini sangat di harapkan oleh pelaku usaha ritel modern. Roy juga menambahkan bahwa jika kenaikan tarif PPN tetap di laksanakan, maka harga barang di sektor ritel modern akan mengalami peningkatan. Yang mana menurutnya, kenaikan harga akan di mulai beberapa bulan sebelum penerapan tarif baru. Yaitu, pada kuartal keempat sebagai langkah antisipasi terhadap dampak kenaikan PPN.
Hal ini di lakukan oleh para pelaku usaha untuk menghindari penurunan penjualan yang bisa terjadi jika harga naik drastis setelah tarif PPN di terapkan. Sebagai tambahan, rencana kenaikan tarif PPN ini merupakan bagian dari penyesuaian kebijakan perpajakan yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Bergantung Pada Kondisi Ekonomi Dan Kebijakan Yang Di Ambil Pemerintah
Dalam UU HPP, Pasal 7 ayat 1 menetapkan bahwa tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10 persen telah di naikkan menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Kemudian di rencanakan akan naik kembali menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025. Selain itu, Pasal 7 ayat 3 dalam UU HPP juga memberikan ruang bagi pemerintah untuk menyesuaikan kenaikan dari tarif PPN dengan rentang antara 5 hingga 15 persen. Yang mana, ini Bergantung Pada Kondisi Ekonomi Dan Kebijakan Yang Di Ambil Pemerintah. Dengan demikian, meskipun kenaikan tarif PPN sebesar 12 persen sudah di jadwalkan, masih ada kemungkinan untuk menunda atau mengubah besaran tarif tersebut.
Dalam konteks ini, baik Adhi S Lukman maupun Roy Nicholas Mandey, mewakili suara industri dan sektor ritel. Yang mana, mereka berharap agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam memberlakukan kenaikan tarif PPN. Mereka juga menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap daya beli konsumen, pertumbuhan industri, serta stabilitas harga di pasar. Penundaan kebijakan ini di nilai sebagai langkah yang tepat untuk memberikan waktu bagi industri dan sektor ritel.
Kemduian, pada Juli 2024 Kementerian Keuangan melaporkan bahwa penerimaan pajak mencapai Rp1.045,32 triliun. Yang mana, ini setara dengan 52,56 persen dari target yang di tetapkan dalam APBN 2024. Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers mengenai APBN KiTa yang berlangsung di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, pada Selasa, 13 Agustus 2024. Mengungkapak, bahwa realisasi penerimaan pajak mengalami perlambatan. Sri Mulyani menjelaskan bahwa tanda-tanda perlambatan ini mulai terlihat sejak Maret hingga Juli 2024. Sri Mulyani juga mengungkapkan berita positif mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Yang mana, hal ini berhasil mencapai Rp402,16 triliun atau 49,57 persen dari target. Ia juga menjelaskan bahwa dari sisi bruto, penerimaan PPN dan PPnBM mengalami pertumbuhan sebesar 7,34 persen. Tentu, ini mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik.
Penerimaan Pajak Telah Mencapai Target Yang Di Tetapkan
Sri Mulyani memaparkan tentang penerimaan dari PPh migas yang mencapai Rp39,32 triliun atau 51,49 persen dari target. Namun, ia mencatat bahwa angka ini mengalami kontraksi sebesar 13,2 persen secara bruto. Kontraksi ini sebagian besar di sebabkan oleh penurunan lifting minyak. Yang mana, hal tersebut tetap terjadi meskipun harga minyak di pasar global mengalami kenaikan. Sri Mulyani menekankan bahwa produksi minyak dalam negeri terus mengalami penurunan dan tidak mencapai target yang telah di tetapkan dalam APBN. Di sisi lain, untuk kategori pajak lainnya, penerimaan tercatat sebesar Rp10,07 triliun. Yang mana, ini merupakan 26,7 persen dari target dengan pertumbuhan bruto sebesar 4,14 persen.
Secara keseluruhan, Sri Mulyani menyatakan bahwa hingga Juli 2024, Penerimaan Pajak Telah Mencapai Target Yang Di Tetapkan dengan nilai 52,56. Yang mana, penerimaan ini senilai dengan 1.045,32 triliun Rupiah. Ia berharap momentum pertumbuhan ini akan terus berlanjut dalam enam bulan terakhir tahun 2024. Sehingga target penerimaan pajak yang telah di tetapkan dapat tercapai. Pandangan optimistis ini di harapkan dapat memberikan dorongan bagi perekonomian nasional. Serta, mendukung stabilitas fiskal di tengah berbagai tantangan yang di hadapi di tengah isu Kenaikan PPN.